SINOPSIS “BATU GOLOQ”
Pada zaman dahulu kala “Pada Mara” ini merupakan hutan belantara.
Rumah-rumah belum ada.Belum juga ada orang yang memiliki sesuatu. Demikian pula
dengan gang atau jalan, yang ada hanyalah sungai Sawing. Di dekat sungai Sawing
itu terletak Batu Goloq yang akan diceritakan ini. Dari mana asalnya dan
mengapa terletak disana?.
Pada zaman dahulu di
daerah Batu Goloq itu terdapat seorang raja yang bernama Nok Sediman. Letak
keraton kerajaan itu tak dapat diketahui dengan pasti. Namun demikian, cerita
Batu Goloq ini sudah memasyarakat di kalangan penduduk setempat, khususnya
masyarat Pada Mara.
Pada
waktu itu hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan
sang suami bernama Amaq Lembain. Mereka hidup dalam keadaan miskin dan sangat
melarat. Walaupun hidupnya sengsara namun keluarga ini sangat perhatian kepada
anaknya.
Demikianlah, sebagai bentuk kasih sayang dan tanggung jawab
terhadap anak-anaknya ,setiap hari Inaq Lembain berangkat mengambil upah
menumbuk padi. Mereka mempunyai dua orang anak, seorang wanita dan seorang
laki-laki. Seorang wanita bernama Wuni dan adiknya yang laki-laki bernama
Rangga.
Pada suatu saat, berkatalah
anak-anak itu :
“Ibu… Ibu… aku lapar, aku mau makan ibu”
Inaq Lembain pun menjawab, “Baiklah anakku, tunggulah dahulu, ibu
akan pergi menumbuk padi. Nanti setelah berhasil memperoleh upah, itulah yang
ibu akan tanak. Sabar dahulu ya anakku”.
Setelah berhsil
memperoleh pekerjaan Inaq Lembain mempersiapkan pelataran tempat menumbuk
dengan jalan memulasnya lebih dahulu dengan kotoran sapi, kemudian dibiarkan
beberapa lama, agar pelataran itu menjadi kering.
Setelah semua siap,
Inaq Lembain membawa kedua anaknya ke tempat menumbuk. Di dekat tempat itu terdapat
sebuah batu ceper.
Ketika hendak mulai
menumbuk, dimandikannya kedua anak itu walaupun belum diberikan makan sejak
tadi malam. Setelah kedua anak itu bersih lalu didudukkan di atas batu ceper.
Di dekatnya terdapat sebuah lapan. Inaq Lembain pun berkata, “duduklah anakku,
ibu hendak bekerja agar kita tidak kelaparan.”
Setelah itu, mulailah
Inaq Lembain mengambil padi dan menumbuk. “Tung, teng, tung, teng, ” demikian
bunyi alu itu terus-menerus.
Tak beberapa lama batu
tempat mereka duduk semakin lama semakin tinggi, akhirnya memanggilah anak yang
sulung. “Ibu, Ayah… batu ini semakin tinggi”
“Ibu, Ayah, dengarkanlah kata-kataku”.
Mendengar itu ibunya berkata,
“O, anakku tunggulah aku tak lama lagi, ibu baru saja menumbuk.”
Aluanya terus bertalu “Tung, teng, tung, teng, ” setelah selesai pekerjaan awal
anak itu memanggil kembali :
“Ibu…, Ayah …, batu ini semakin tinggi saja, tidakkah kau dengar
ibu, tidakkah kau dengar Ayah.”
Setelah selesai menampi,
Inaq Lembain melanjutkan pekerjaannya dan suara alu itu terdengar lagi. “Tung, teng,
tung, teng, ” baiklah anakku, tunggulah sebentar. Sekarang ibu akan
membersihkan beras ini.
Kian lama Batu Goloq
itu kian meninggi saja. Sudah hampir setinggi pohon kelapa. Sedangkan dalam pikiran
ibunya, bila pekerjaan belum selesai anak tersebut tak akan disentuhnya.
“Ah, sampai hati benar
ibu membiarkan aku seperti ini.” Mengapakah demikian perbuatan ibu. Demikian
tinggi tempatku tetapi masih juga belum diambilnya.” Demikian pikir anak sulung
dalam hati.
Tak lama kemudian anak-anak itu memanggil kembali. “Ibu…, Ayah…,
Batu Goloq ini semakin lama semakin tinggi, tidakkah kau dengar ibu, tidaklah
kau dengar Ayah.” Batu Goloq itu sudah melebihi tinggi pohon kelapa. Angin
terasa keras, demikianlah setelah selesai menyisih Inaq Lembain menampi lagi
dan membuang antah yang masih tersisa. Ketika itu anak tersebut memanggil lagi.
“Ibu …, Ayah... Batu Goloq ini semakin lama semakin tinggi, tidakkah kau dengar
ibu, tidaklah kau dengar Ayah.” Sesuadah itu Inaq Lembain melanjutkan pekerjaan
terakhir menyisihkan antah dari beras dan membersihkan seluruhnya. Sesaat
menjelang pekerjaan selesai, anak itu memanggil kembali. Mereka sudah hampir
tak tampak lagi. Mereka berada pada tempat yang sangat tinggi. Tampaknya
seperti dua ekor burung kecil yang hinggap di atas batu. Terdengarlah suara
sayup sampai “Ibu …, Ayah…, Batu Goloq ini semakin lama semakin tinggi,
tidakkah kau dengar ibu, tidakkah kau dengar Ayah.” Terdengarlah suara anak itu
sangat samar. Pekerjaan sudah selesai semuanya,. Mendengar suara sayup-sayup
itu Inaq Lembain menjadi terkejut. “Di manakah anakku, dia memandang ke atas
tetapi kedua anak itu tak terlihat olehnya.” Kemudian Inaq Lembain menyerahkan
beras kepada pemiliknya. Sedang kedua anaknya belum juga diperhatikan. Setelah
beras diserahkan seluruhnya kepada pemiliknya, Inaq Lembain menerima upah menir
dan beras masing-masing satu kobok. Ketika Inaq Lembain sedang memasak,
memanggillah kembali anak itu suaranya tak terdengar lagi.
Dengan singkat
diceritakan menir itu sudah masak serta dibubuhi garam, bersiaplah Inaq Lembain
untuk menyampaikan kepada anaknya. Tiba-tiba ia sangat terkejut. Kedua anakknya
berada di atas awan hampir tak tampak oleh mata, ia sangat menyesal tak memperhatikan
panggilan anaknya sejak tadi. Ia menangis sejadi-jadinya. Banyak kata-kata
penyesalan diungkapkan terdorong oleh rasa kasih sayang kepada kedua anaknya.
Akhirnya anak yang tampak bagaikan burung kecil itu menghilang dari pandangan.
Setelah lama membanting diri, segala akal menjadi buntu kemudian ia berdo’a
kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, berikanlah hambaMu jalan agar hamba dapat berjumpa
kembali dengan anak-anakku.” Sungguh hamba menyesal telah mengabaikan panggilan
mereka sejak tadi. Ternyata, beginilah nasib mereka , tak ada maksud hamba
untuk mengabaikannya.
Setelah itu Inaq
Lembain membuka sabuknya kemudian ia berdo’a. “Oh Tuhan,… bantulah hambaMu ini.
Semoga dengan sabuk ini Batu Goloq itu terpenggal dan dapatlah aku bertemu
dengan anak-anakku.” Setelah itu ditebasnya Batu Goloq tersebut dengan sabuk
pada bagian pangkal. Ajaib, Batu Goloq itu terpenggal menjadi tiga. Potongan
pertama jatuh di suatu tempat, tempat itu dinamakan Desa Gembong, disebabkan
oleh besarnya suara Batu Goloq sehingga tanah bergetar. Potongan kedua jatuh di
suatu tempat hingga saat ini dinamakan Dasan Batu, karena pada waktu itu ada
orang yang melihat jatuhnya Batu Goloq. Dan potongan ketiga jatuh di suatu
tempat yang hingga kini dinamakan Motong Teker, karena bunyi runtuhan Batu Goloq
itu menggelegar seperti suara guruh.
Selanjutnya
diceritakan kedua anak itu tidak jatuh ke tanah melainkan terbang menjadi
burung. Anak perempuan itu menjadi burung kekuwo. Sedangkan adiknya yang
laki-laki berubah menjadi burung kelik. Dan itulah sebabnya pula kedua pasangan
burung ini tak mampu mengerami telur, karena berasal dari manusia. Untuk menetaskan
telur pasangan kekuwo dan kelik selalu melepaskan telurnya pada burung gagak.
Nilai karakter dan budi pekerti yang terkandung dalam cerita ini
,antara lain:
1.
Seorang ibu dan seorang ayah yang sangat bertanggung jawab
keluarga.
2.
Anak-anaknya senantiasa berbakti kepada orang tua.
3.
Keluarga ini sangat sabar
4.
Inaq Lembain dan Amak Lembain sosok orang tua ulet dan tekun.
5.
Inaq Lembain dan Amaq Lembain
sangat menyayangi anak-anaknya.