twitter




SINOPSIS “BATU GOLOQ”                        

         Pada zaman dahulu kala “Pada Mara” ini merupakan hutan belantara. Rumah-rumah belum ada.Belum juga ada orang yang memiliki sesuatu. Demikian pula dengan gang atau jalan, yang ada hanyalah sungai Sawing. Di dekat sungai Sawing itu terletak Batu Goloq yang akan diceritakan ini. Dari mana asalnya dan mengapa terletak disana?.
        Pada zaman dahulu di daerah Batu Goloq itu terdapat seorang raja yang bernama Nok Sediman. Letak keraton kerajaan itu tak dapat diketahui dengan pasti. Namun demikian, cerita Batu Goloq ini sudah memasyarakat di kalangan penduduk setempat, khususnya masyarat Pada Mara.
        Pada waktu itu hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain. Mereka hidup dalam keadaan miskin dan sangat melarat. Walaupun hidupnya sengsara namun keluarga ini sangat perhatian kepada anaknya.
Demikianlah, sebagai bentuk kasih sayang dan tanggung jawab terhadap anak-anaknya ,setiap hari Inaq Lembain berangkat mengambil upah menumbuk padi. Mereka mempunyai dua orang anak, seorang wanita dan seorang laki-laki. Seorang wanita bernama Wuni dan adiknya yang laki-laki bernama Rangga.
 Pada suatu saat, berkatalah anak-anak itu :
“Ibu… Ibu… aku lapar, aku mau makan ibu”
Inaq Lembain pun menjawab, “Baiklah anakku, tunggulah dahulu, ibu akan pergi menumbuk padi. Nanti setelah berhasil memperoleh upah, itulah yang ibu akan tanak. Sabar dahulu ya anakku”.
       Setelah berhsil memperoleh pekerjaan Inaq Lembain mempersiapkan pelataran tempat menumbuk dengan jalan memulasnya lebih dahulu dengan kotoran sapi, kemudian dibiarkan beberapa lama, agar pelataran itu menjadi kering.
       Setelah semua siap, Inaq Lembain membawa kedua anaknya ke tempat menumbuk. Di dekat tempat itu terdapat sebuah batu ceper.
       Ketika hendak mulai menumbuk, dimandikannya kedua anak itu walaupun belum diberikan makan sejak tadi malam. Setelah kedua anak itu bersih lalu didudukkan di atas batu ceper. Di dekatnya terdapat sebuah lapan. Inaq Lembain pun berkata, “duduklah anakku, ibu hendak bekerja agar kita tidak kelaparan.”
        Setelah itu, mulailah Inaq Lembain mengambil padi dan menumbuk. “Tung, teng, tung, teng, ” demikian bunyi alu itu terus-menerus.
       Tak beberapa lama batu tempat mereka duduk semakin lama semakin tinggi, akhirnya memanggilah anak yang sulung. “Ibu, Ayah… batu ini semakin tinggi”
“Ibu, Ayah, dengarkanlah kata-kataku”.
Mendengar itu ibunya berkata,
“O, anakku tunggulah aku tak lama lagi, ibu baru saja menumbuk.” Aluanya terus bertalu “Tung, teng, tung, teng, ” setelah selesai pekerjaan awal anak itu memanggil kembali :
“Ibu…, Ayah …, batu ini semakin tinggi saja, tidakkah kau dengar ibu, tidakkah kau dengar Ayah.”
      Setelah selesai menampi, Inaq Lembain melanjutkan pekerjaannya dan suara alu itu terdengar lagi. “Tung, teng, tung, teng, ” baiklah anakku, tunggulah sebentar. Sekarang ibu akan membersihkan beras ini.
      Kian lama Batu Goloq itu kian meninggi saja. Sudah hampir setinggi pohon kelapa. Sedangkan dalam pikiran ibunya, bila pekerjaan belum selesai anak tersebut tak akan disentuhnya.
       “Ah, sampai hati benar ibu membiarkan aku seperti ini.” Mengapakah demikian perbuatan ibu. Demikian tinggi tempatku tetapi masih juga belum diambilnya.” Demikian pikir anak sulung dalam hati.
Tak lama kemudian anak-anak itu memanggil kembali. “Ibu…, Ayah…, Batu Goloq ini semakin lama semakin tinggi, tidakkah kau dengar ibu, tidaklah kau dengar Ayah.” Batu Goloq itu sudah melebihi tinggi pohon kelapa. Angin terasa keras, demikianlah setelah selesai menyisih Inaq Lembain menampi lagi dan membuang antah yang masih tersisa. Ketika itu anak tersebut memanggil lagi. “Ibu …, Ayah... Batu Goloq ini semakin lama semakin tinggi, tidakkah kau dengar ibu, tidaklah kau dengar Ayah.” Sesuadah itu Inaq Lembain melanjutkan pekerjaan terakhir menyisihkan antah dari beras dan membersihkan seluruhnya. Sesaat menjelang pekerjaan selesai, anak itu memanggil kembali. Mereka sudah hampir tak tampak lagi. Mereka berada pada tempat yang sangat tinggi. Tampaknya seperti dua ekor burung kecil yang hinggap di atas batu. Terdengarlah suara sayup sampai “Ibu …, Ayah…, Batu Goloq ini semakin lama semakin tinggi, tidakkah kau dengar ibu, tidakkah kau dengar Ayah.” Terdengarlah suara anak itu sangat samar. Pekerjaan sudah selesai semuanya,. Mendengar suara sayup-sayup itu Inaq Lembain menjadi terkejut. “Di manakah anakku, dia memandang ke atas tetapi kedua anak itu tak terlihat olehnya.” Kemudian Inaq Lembain menyerahkan beras kepada pemiliknya. Sedang kedua anaknya belum juga diperhatikan. Setelah beras diserahkan seluruhnya kepada pemiliknya, Inaq Lembain menerima upah menir dan beras masing-masing satu kobok. Ketika Inaq Lembain sedang memasak, memanggillah kembali anak itu suaranya tak terdengar lagi.
         Dengan singkat diceritakan menir itu sudah masak serta dibubuhi garam, bersiaplah Inaq Lembain untuk menyampaikan kepada anaknya. Tiba-tiba ia sangat terkejut. Kedua anakknya berada di atas awan hampir tak tampak oleh mata, ia sangat menyesal tak memperhatikan panggilan anaknya sejak tadi. Ia menangis sejadi-jadinya. Banyak kata-kata penyesalan diungkapkan terdorong oleh rasa kasih sayang kepada kedua anaknya. Akhirnya anak yang tampak bagaikan burung kecil itu menghilang dari pandangan. Setelah lama membanting diri, segala akal menjadi buntu kemudian ia berdo’a kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, berikanlah hambaMu jalan agar hamba dapat berjumpa kembali dengan anak-anakku.” Sungguh hamba menyesal telah mengabaikan panggilan mereka sejak tadi. Ternyata, beginilah nasib mereka , tak ada maksud hamba untuk mengabaikannya.
        Setelah itu Inaq Lembain membuka sabuknya kemudian ia berdo’a. “Oh Tuhan,… bantulah hambaMu ini. Semoga dengan sabuk ini Batu Goloq itu terpenggal dan dapatlah aku bertemu dengan anak-anakku.” Setelah itu ditebasnya Batu Goloq tersebut dengan sabuk pada bagian pangkal. Ajaib, Batu Goloq itu terpenggal menjadi tiga. Potongan pertama jatuh di suatu tempat, tempat itu dinamakan Desa Gembong, disebabkan oleh besarnya suara Batu Goloq sehingga tanah bergetar. Potongan kedua jatuh di suatu tempat hingga saat ini dinamakan Dasan Batu, karena pada waktu itu ada orang yang melihat jatuhnya Batu Goloq. Dan potongan ketiga jatuh di suatu tempat yang hingga kini dinamakan Motong Teker, karena bunyi runtuhan Batu Goloq itu menggelegar seperti suara guruh.
        Selanjutnya diceritakan kedua anak itu tidak jatuh ke tanah melainkan terbang menjadi burung. Anak perempuan itu menjadi burung kekuwo. Sedangkan adiknya yang laki-laki berubah menjadi burung kelik. Dan itulah sebabnya pula kedua pasangan burung ini tak mampu mengerami telur, karena berasal dari manusia. Untuk menetaskan telur pasangan kekuwo dan kelik selalu melepaskan telurnya pada burung gagak.


Nilai karakter dan budi pekerti yang terkandung dalam cerita ini ,antara lain:
1.      Seorang ibu dan seorang ayah yang sangat bertanggung jawab keluarga.
2.      Anak-anaknya senantiasa berbakti kepada orang tua.
3.      Keluarga ini sangat sabar
4.      Inaq Lembain dan Amak Lembain sosok orang tua ulet dan tekun.
5.      Inaq Lembain dan Amaq Lembain  sangat menyayangi anak-anaknya.